Sumber http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/468783/ |
Sunday, 12 February 2012 | |
Fahma dan adiknya, Hania, menerima penghargaan sebagai juara pada ajang PICTA 2010 di Kuala Lumpur, Malaysia. BANDUNG– Dia seperti bocah kebanyakan, menikmati permainan dari komputer, konsol, juga ponsel. Namun, Fahma Waluya Rohmansyah telah membuat perbedaan dengan menciptakan game yang menghibur dan mendidik. Kalimat pujian tersebut terlontar pada sebuah artikel di laman Philippine Star. Website milik harian berbahasa Inggris di Filipina itu menulis kisah Fahma yang saat itu baru saja meraih Asia Pacific ICT Alliance (APICTA) Awards 2010 di Kuala Lumpur,Malaysia. Fahma dan adiknya, Hania Pracika Rosmansyah,merebut gelar juara pada kategori Secondary Student Project dengan karya My Mom’s Mobile Phone as My Sister’s Tutor. Tak cuma di philstar.com, prestasi membanggakan Fahma dan Hania pun terpublikasi luas, terutama bertebaran di blog tentang teknologi informasi. Laman appmuse menyebut nama Fahma dalam artikel Going for Gold: Inspiring success stories in app development. ”Fahma membanggakan dirinya dapat mengembangkan sebuah aplikasi dari awal sampai akhir selama sekitar 12 jam. Dengan melihat track record sejauh ini, tidak ada alasan bagi kita untuk meragukannya,” kata laman itu. Kemampuan Fahma soal komputer memang mengagumkan. Selain aplikasi yang meraih penghargaan internasional itu,belum lama ini siswa SMPN 2 Bandung ini menelurkan Raid the Mice, aplikasi permainan yang didesain untuk mengedukasi para pemainnya memerangi korupsi. “Setiap ada tikus yang lolos, kita alias robotnya akan mati di tempat. Itu artinya, setiap koruptor yang dibiarkan kabur, maka (membuat) negara ini akan hancur,” ungkap Fahma menceritakan permainan ciptaannya itu. Permainan tembak tikus ini memang bermula dari rasa penasarannya tentang maraknya kasus korupsi di Indonesia. Dia mengaku heran mengapa kasus korupsi seolah tak bisa hilang .”Saya pikir itu salah satu masalah besar yang merusak bangsa kita,” tutur putra pasangan Yusep Rosmasnyah (dosen ITB) dan Yusi Elsiano (praktisi anak) ini. Fahma merasa game ciptaannya masih jauh dari sempurna. Karena itu,dirinya meminta bantuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyempurnakannya. “Masyarakat boleh mengkritik, dan saya minta tolong ke KPK, sebab ada beberapa yang harus dibetulkan, harus lebih banyak dikembangkan sebelum diluncurkan,” ucap dia saat di kantor KPK. Fahma mengaku, dia hanya menghabiskan waktu sebulan untuk membuat permainan tersebut.Yang juga menarik, dalam gameini efek musik yang digunakan adalah musik tradisional dari Tanah Sunda, angklung. “Musiknya angklung karena ingin lebih mengenalkan dan mengangkat budaya asli Indonesia,”tandasnya. Sejauh ini, Fahma melahirkan lebih dari 40 aplikasi game edukatif yang dapat diunduh pengguna iPad dan semua produk Apple. Setelah Raid The Mice, alumnus Cendekia Leadership School di Dago Pakar Bandung ini berjanji merilis aplikasi permainan lain semisal Disguisting Frog, Jengkol Jump, dan Upil Attack. Ada cerita menarik mengenai penciptaan aplikasi permainan itu.Semaunya bermula dari kebiasaan adiknya memainkan ponsel milik ibu mereka. “Saat itu, saya ditantang ayah untuk membuat aplikasi di ponsel ibu supaya adik saya dapat belajar di ponsel tersebut,” sebutnya. Dari situlah lahir permainan “Belajar Huruf, Angka, dan Warna”, kemudian EnglishForKids, dan “Doa Anak Muslim”. Game itu tertanam di ponsel sehingga adiknya tidak lagi bermain, tetapi belajar. “Hania juga berperan jadi pengisi suara di game saya yang lain,” tuturnya. Kekompakan keluarga dalam penyelesaian proyek- proyeknya sangat terasa,apalagi ibunyalah yang membawa game Fahma pertama kali ke publik. Melalui blog psikologi, game buatan anak sulungnya itu dapat diunduh semua pengguna ponsel. Fahma juga menyatakan bahwa peran ayahnya sangat besar. “Ayah selalu mengevaluasi kualitas supaya pengemasan dan desain gambarnya lebih halus dan menjual.Karena target kami,suatu saat game ini akan diunduh dengan sistem berbayar,” ujar siswa cerdas yang mengidolakan Steve Jobs dan kartunis Stephen Hillenburg ini. Fahma yang kerap diundang menjadi narasumber ilmu teknologi informasi ini menilai perkembangan game Indonesia sangat baik.“Tapi, saya harapkan pemerintah dapat lebih memperhatikan para pembuat game. Banyak pembuat game lebih memilih pindah ke negara lain karena di sana mereka diakui baik dari segi karya maupun penghasilan,” ungkapnya. gita pratiwi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar